Sepenggal Kisah TV Analog yang Menanti Suntik Mati

 

kisah TV analog
© Vecteezy/Reno Sakti Devissandy

Kulihat tatapan mereka berlima begitu serius menghujam diriku, tidak bergerak sedikitpun. Aku tahu, pertandingan ini tak akan sehat untuk jantung mereka. Tapi entah kenapa mereka berlima memilih untuk mengisi ruang TV bersama. Sebuah pemandangan yang sudah jarang kulihat.

Dan apa yang kunanti-nanti pun tiba.

Alasan kenapa aku begitu senang dengan keluarga ini.

Mereka bersamaan memekik saat shuttlecock Chen Jia resmi dinyatakan out oleh wasit lapangan dan memastikan Greysia Polii/Apriyani Rahayu sebagai peraih medali emas ganda putri badminton di Olimpiade Tokyo 2020. Kubiarkan lima orang di depanku ini tenggelam dalam euforia kemenangan, termasuk bagaimana saat mereka berusaha menangis sembunyi-sembunyi ketika lagu Indonesia Raya berkumandang.

Ah, aku senang sekali akhirnya kembali jadi pusat perhatian. Kembali jadi tempat di mana orang saling berkumpul tak lagi berdiam di kamarnya masing-masing.

TV Analog dan Persaingannya dengan Aplikasi

Jujur, sejak makin banyaknya layanan streaming yang bisa diakses di smartphone, aku sangat jarang melihat mereka duduk berlima, menonton segala hal yang kusiarkan. Padahal ketika mereka membawaku dari toko elektronik hampir delapan tahun lalu, aku bahkan pernah dinyalakan selama sehari semalam tanpa henti.

Teman setiaku yang masih mau menonton hingga terkantuk-kantuk tentu saja si Ibu yang selalu kusambut bahagia ketika menonton Ikatan Cinta. Jangan harap ada yang bisa mengganti siarannya, karena selama hampir dua jam, Aldebaran dan Andien akan berkuasa.

Ada dua orang di rumah ini yang benar-benar jarang menjamah diriku, yakni si tengah sekaligus anak perempuan satu-satunya dan si bungsu generasi Z itu. Mereka lebih suka berdiam di dalam kamar, tertawa sendiri menonton live streaming dari smartphone.

Aku benar-benar sedih saat si anak tengah bilang lebih baik install aplikasi OTT dan nonton sambil rebahan di kasur, ketika stasiun TV swasta kesayangannya mendadak hilang siaran. Padahal stasiun TV itu seringkali menayangkan serial drama Korea yang begitu dia sukai. Dia mungkin hanya seminggu sekali menonton TV di akhir pekan saat ajang kompetisi memasak itu tayang. Itupun kalau saluran WiFi di rumah sedang rusak.

Dasar layanan OTT (Over-the-Top) sialan!

Sebetulnya aku tidak berniat menyalahkan mereka yang lebih suka berjam-jam melahap layanan live streaming. Apalagi menurut Amelia Hezkasari Day selaku pengamat media UI kepada Kompas. kebiasaan masyarakat yang lebih doyan layanan OTT ini bukan karena sudah malas menonton, tapi hanya beralih medium. Fakta bahwa siapapun bisa bikin konten di media sosial, Youtube dan tentunya OTT, membuat disrupsi digital memang jadi hal yang tidak bisa dihindari.

Bentukku mungkin lebih bagus daripada si tabung yang sudah didelegasikan ke pengepul barang bekas bertahun-tahun lalu. Aku lebih ramping dan sudah bisa dipasang TV kabel, tapi nasibku tidak jauh berbeda.

Bahkan menurut si anak tengah, aku si TV LCD (Liquid Crystal Display) ini bukanlah TV digital. Kendati aku sudah memakai teknologi yang memanfaatkan kristal cair dan memproduksi warna lewat tembakan cahaya, aku masih menangkap siaran TV analog. Meskipun sajian tayanganku lebih bening daripada TV tabung dan layarku tidak cembung, aku akan tetap disalahkan akan channel TV yang mendadak hilang atau siaran yang dipenuhi semut pada layar

Apakah ini artinya aku akan segera dilupakan?

Dan kecemasan itu kemudian benar-benar jadi nyata beberapa waktu lalu.

’Kayaknya TV kudu diganti deh, TV-nya temenku digital bisa nayangin semua acara. Nggak kayak sekarang, cuma sisa berapa channel? Membosankan’.

Bak petir di siang bolong, hari akhirku pun tiba.

Suntik Mati TV Analog

Jauh di dalam hatiku, aku tahu kalau kami TV analog yang berjumlah 44,6 juta pesawat di Indonesia ini memang sudah harus 'mati' sejak lama. Dibandingkan dengan berbagai hal modern masa kini, aku memang punya banyak sekali kelemahan.

Pertama, aku hanya bisa memproses sinyal analog yang kutangkap melalui antena dan harus dipasang di atas rumah. Dalam prosesnya aku menangkap gelombang radio yang kemudian kuperlihatkan dalam bentuk suara dan gambar lewat modulasi analog. Namun jika posisiku makin jauh dari stasiun pemancar TV, sinyalnya makin lemah. Hasilnya, gambar yang kutampilkan jadi buruk dan dipenuhi semut.

Kedua, selain kualitas gambar yang tidak cukup bagus (aku jelas tidak mengenal 720p atau 1080p), aku lebih boros listrik. Meskipun memang bodiku tidak seperti TV tabung yang sudah uzur itu, aku tetap butuh daya lebih untuk mengolah sinyal. Kalian tentu tahu kan pemborosan listrik itu artinya merusak lingkungan?

perbandingan TV Analog - Digital

Selain itu aku juga sadar diri bahwa sebetulnya masyarakat dunia sudah mulai migrasi ke siaran TV digital bertahun-tahun lalu. Jika Indonesia baru akan memulai di 17 Agustus 2021, negara-negara di Afrika, Eropa dan sebagian Asia sudah sepakat melakukan ’suntik mati’ siaran TV analog di tahun 2015, lewat program ASO (Analog Switch Off).

Aku juga ingat bagaimana Menkominfo Johnny G Plate menjelaskan bahwa hampir 90% negara-negara di dunia sudah tak punya siaran TV analog. Menurutnya, siaran TV analog ini luar biasa boros pita frekuensi radio hingga energi serta punya fitur yang benar-benar ketinggalan zaman.

Nanti ketika disrupsi digital pada siaran TV di Indonesia terjadi, frekuensi-frekuensi 700 MHz yang dipakai TV analog bisa diatur ulang.

Memang mau dipakai untuk apa sih?

Layanan internet cepat yang tentunya sangat kalian idam-idamkan. Karena frekuensi 700 Mhz cocok menjadi ’kendaraan’ jaringan internet 5G, sedangkan siaran TV digital bisa memakai frekuensi 112 Mhz.

Bahkan kalau mau dibandingkan lagi, jika satu siaran TV analog yang kupancarkan butuh pita frekuensi 8 Mhz, TV digital dengan jumlah pita frekuensi yang sama mampu menampilkan lima channel sekaligus! Imbasnya, jika kini satu infrastruktur TV analog cuma dipakai satu TV saja, nanti saat semua serba digital, satu infrastruktur dapat digunakan sampai 13 stasiun TV!

Efisien banget?

Memang.

Tapi itu artinya, aku sudah tak digunakan lagi.

Berkenalan dengan MODI

Aku bisa mendengar deru sepeda motor itu berhenti, lalu Ayah dan anak sulung masuk sambil membawa sebuah kotak. Kuduga itu pasti TV digital yang akan menggantikan posisiku untuk selama-lamanya. Kupejamkan mataku sebelum aliran listrik lenyap. Tapi tunggu, kenapa bentuk kotak itu begitu kecil? Apakah TV-TV digital sekarang memang berbentuk kecil?

’Ini namanya STB (Set Top Box) DVBT2, harganya cuma Rp150 ribu di toko elektronik jalan besar sana. Kita nggak perlu kok ganti TV’

Kudengar suara Ayah begitu lembut di dekatku sambil membuka kotak yang dia bawa.

Kulihat si anak tengah mendekatiku sambil memegang ponselnya, kulirik layar smartphone itu, ada aplikasi sinyalTVDigital yang katanya sudah diunduh dari PlayStore/AppStore. Menurutnya aplikasi itu untuk mengecek kalau memang daerah rumah kami sudah disinggahi siaran TV digital. Karena sudah terdeteksi, si Ayah langsung memasang dekoder STB itu.

tampilan dekoder STB

Aku masih tak paham, memang STB itu bisa membuatku menangkap siaran TV digital? Memangnya antena TV analog yang dipasang di atas genteng bisa melakukan tugasnya?

Dan seluruh pertanyaanku pun akhirnya terjawab saat dekoder itu aktif dan aku memulai menangkap gelombang yang benar-benar baru. Membuat urat-urat kabel di seluruh tubuhku ikutan kaget. Sayup-sayup kudengar aku bisa melihat sosok menggemaskan di dalam otakku.

’Halo namaku MODI atau Maskot Digital Indonesia. Aku didesain menyerupai komodo, satwa terlindungi sebagai simbol kemampuan beradaptasi dan mempertahankan spesies. Warnaku kuning karena itu adalah simbol keceriaan dan keramahan. Sedangkan warna biru dan bentuk telingaku ini adalah lambang kemajuan teknologi TV’

’Tak perlu takut hai TV LCD, kamu tak akan ditinggalkan. Setelah ini kamu akan bisa menampilkan kualitas gambar yang jauh lebih tajam dengan suara luar biasa jernih, hingga mencapai HD (High Definition). Siaranmu juga bakal lebih stabil sehingga kamu tak akan disalahkan saat gambar jadi berbayang. Jadi jangan sedih. Mari kita hibur terus keluarga-keluaga Indonesia’

tata cara pindah ke TV Digital

Aku tersenyum mendengar ucapan MODI. Kukembalikan fokusku ke lima orang yang ada di depanku. Mereka duduk di tempatnya masing-masing sambil tersenyum lebar. Ada yang mengambil cemilan, menarik selimut atau menggendong Gembul si kucing gendut itu.

Ah, sepertinya waktu kebersamaanku bersama mereka bakal makin panjang.

Sekarang, aku siap menghadirkan tontonan lebih berkualitas dan hemat lingkungan lewat siaran TV digital!

 

Sumber:

  • Kompas
  • Sindonews
  • VOA Indonesia
  • detikX
  • Kominfo

Posting Komentar

17 Komentar

  1. Berkembangnya teknologi artinya memang segala sesuatu harus siap dengan banyak perubahan termasuk dari TV Analog ke TV Digital. Nyatanya orang menuntun kepraktisan dalam hal apapun.

    BalasHapus
  2. Makin canggih ya, TV digital makin berkualitas, baik gambar maupun tayangan acaranya. Swmoga saja ya, tinggal modif TV jadulku aja nih hhaa..

    BalasHapus
  3. Sekarang memang harus beralih ya ke TV digital. TV analog sepertinya bakal ditinggalkan. Setahuku memang TV digital ini kualitas gambar dan suara lebih jernih. Semoga benar adanya.

    BalasHapus
  4. baca ini jadi makin tercerahkan mengenai TV Digital :)
    TV tetap ada ya bahkan nanti kita bisa mendapatkan siaran yang lebih baik dan jernih lagi ya dengan hadirnya TV Digital, uhuuuy, sejujurnya jadi gak sabar menunggu 2 November 2022 nanti :D

    BalasHapus
  5. Sepertinya dengan TV Digital, para pengelola stasiun TV harus lebih produktif dalam program penyiarannya,ya mbak. Kalo kaleng-kaleng terus ya, bakal tergerus jaman.

    BalasHapus
  6. penasaran dengan cara kerjanya, tapi sepertinya mudah untuk digunakan.. dan gencar iklan untuk berpindah dari analog ke digital bahkan stasiun tv tertentu sudah pindah juga ke siaran digital... pastinya semuanya akan bergeser ke digital kan ya.. jadi harus siap, mau tidak mau..

    BalasHapus
  7. Sudah saatnya tivi analog diganti sama tv digital ya kak. Kualitasnya makin ok. Nikmatnya nonton TV semakin puas.

    BalasHapus
  8. Mau tak mau kita harus mengikuti zaman ya. Dengan kehadiran TV digital ini, tentunya kualitas akan semakin baik. Jadi makin senang deh nontonnya.

    BalasHapus
  9. Tulisannya bagus, POV nya juga keren, seolah-olah saya sendiri memahami bagaimana perasaan 'aku'. Saya jadi lebih tercerahkan setelah memahami bagaimana rasanya jadi 'aku' dan penggantinya. Tapi tak apa, kamu sudah bekerja keras selama ini. Pergilah dengan tenang. Semua akan baik-baik saja :)

    BalasHapus
  10. Hahaha, bagian ibu yang tidak bisa diganggu gugat saat menonton sinetron itu ternyata gak cuman ibuku ya ternyata hampir semua ibu-ibu.


    Penasaran sih gimana gebrakan tv digital nantinya, apapun itu semoga menampilkan tayangan yang lebih berkualitas dan biar banyak penontonnya pastinya.

    BalasHapus
  11. Meski menyesal mengatakannya tp memang kenyataannya kita2 pada gak nonton TV analog lagi ya Arai, hiks... pada memilih TV digital, apalagi yg available di gawai hmmm semua2 ada dlm genggaman yaa

    BalasHapus
  12. Teknologi semakin maju, TV analog pastinya akan tergantikan dengan TV digital ya. Apapun, yang penting bukan hanya teknologinya yang meningkat kualitasnya ya tapi tayangannya juga semakin baik

    BalasHapus
  13. Semua sudah serba digital sekarang sih. Memang penting banget sih berinovasi menjadi tv digital ya. Sekarang penonton mau lebih praktis dan kualitas bagus juga dalam menonton.

    BalasHapus
  14. Semua akan ada masa akhirnya ya kak, seperti TV Digital ini yang menjadi pengganti TV Analog ..demi efisiensi dan kenyamanan pengguna juga tentunya

    BalasHapus
  15. Inovasi yg bagus, apalagi kualitas gambarnya jg jadi lebih jernih, pasti semua mau beralih ke TV digital ya kak

    BalasHapus
  16. Di rumah ibu mertua, udah aku belikan STB buat TV digital, dan memang beniiiiing banget ala-ala make TV kabel seperti di rumahku. Ibu juga senang banget.

    BalasHapus
  17. Bentar lagi semua tv beralih ke tv digital ya. Miris nasib tv anolog. Tapi perkembangan jaman memang menuntut semua serba digital. Makin maju

    BalasHapus