Google Maps/Meltyan Photography |
Seperti di
Neraka, mungkin itulah yang dialami oleh Baryanto, di hari Sabtu (3/7) malam
lalu. Salah satu malam terkelam yang pernah dialami masyarakat Yogyakarta.
Hatinya mencelos saat mendadak
mesin HFNC (High Flow Nasal Cannula) milik Ibunya berbunyi keras. Suara
yang membuat jantung siapapun berdenyut lebih cepat daripada biasanya itu tidak
hanya dari satu mesin saja. Karena 10-15 menit kemudian, mesin-mesin lain juga
saling meraung tanpa henti, seolah menjadi panggilan terakhir bagi pemiliknya
untuk bersiap-siap dijemput sang Kematian.
Baryanto ketakutan. Pria asal
Klaten inipun memanggil-manggil dokter dan perawat yang melintas cemas, seolah
terpahat sebuah kabar buruk di wajah-wajah mereka yang tertutup ketat oleh APD
itu.
AP Photo/Kalandra |
Masih terekam jelas di ingatannya
saat dokter mengganti asupan oksigen Ibunya dengan tabung dan masker oksigen.
Namun saturasi oksigen sang Ibu langsung anjlok ke angka 60, 50 dan akhirnya
drop ke 20.
Dan apa yang ditakutkan
Baryanto pun akhirnya terjadi.
Sang Ibu meninggal dunia dunia
pada hari Minggu (4/7) sekitar pukul 01.00 WIB, empat jam setelah oksigen
sentral di rumah sakit itu mati.
Ibu Baryanto adalah salah satu
dari 63 pasien di RSUP Dr.Sardjito yang meninggal dunia hanya dalam tenggat
waktu 24 jam, sebuah rekor kematian mengerikan yang mungkin semencekam Serangan
Umum 1 Maret 1949 itu.
Rumah Sakit terbesar di Jogja
itu limbung.
© AP |
Krisis oksigen yang sudah
dimulai sejak 29 Juni 2021 tidak bisa teratasi dengan lonjakan pasien Covid-19
yang benar-benar mengerikan. Bak prajurit di garis depan medan perang yang
sudah kehabisan amunisi tapi terus dihantam meriam oleh musuh, seperti itulah
kondisi tenaga medis sekaligus fasilitas kesehatan Sardjito di malam kelabu
tersebut.
Apa yang dialami Baryanto dan
Ibunya itu mungkin hanya sepenggal kisah yang diwartakan oleh VOA Indonesia.
Membuktikan kalau pandemi Covid-19 ini berhasil meluluh-lantakkan Yogyakarta,
kota yang terbuat dari kenangan.
Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Satu bulan berlalu sejak krisis
di Sardjito, Yogyakarta memang belum sepenuhnya sembuh dari wabah corona. Dari
data yang dilansir Jogjaprov.go.id hingga hari Kamis (12/8) sore kemarin, sudah
ada 134.494 pasien konfirmasi Covid-19 dengan 4.102 di antaranya meninggal
dunia.
Yogyakarta hingga Jumat (13/8)
pagi masih menyisakan 28.652 pasien yang dirawat dengan total terbanyak di
wilayah Banguntapan, Kabupaten Bantul yakni mencapai 5.380 pasien. Kemudian
posisi kedua terbesar tercatat di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman sebanyak
5.207 orang.
Tak ada yang menduga bagaimana
wabah corona menerjang Yogyakarta tanpa ampun pada bulan Juni-Juli 2021 itu. Di
saat Merapi masih terus terbatuk, Covid-19 seolah menampar kedamaian masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya Jawa itu.
© Reuters |
Banyak orang menangis, marah,
kesal, kehilangan, menderita dan terpuruk karena kehilangan orang-orang
terdekat.
Datan
serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan
Pepatah Jawa yang pernah
diungkapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada bulan Maret 2020 itu mungkin yang
memang dirasakan betul oleh masyarakat Yogyakarta.
Setiap dari kita manusia, pasti
pernah mengalami perasaan benci, sakit hati, sedih, marah atau kecewa. Apalagi
dalam kondisi ditimpa musibah berat seperti pandemi Covid-19. Hanya saja
masalah-masalah ini sebetulnya adalah sebuah cara yang dipilih Tuhan agar
umat-Nya bisa hidup semakin dewasa.
Tentu pendewasaan ini akan semakin berat dilakukan oleh mereka yang benar-benar kehilangan.
Namun Jogja menolak untuk
hancur.
Masyarakat Kota Gudeg ini
mencoba saling meraih tangan satu sama lain. Membantu merangkul sambil
menyembuhkan luka, bahwa harapan untuk bangkit itu selalu ada bagi mereka yang
memang percaya.
Gusti Paring Dalan Kanggo Sapa Wae Gelem Ndalan
Meski sama-sama menyimpan luka
di tubuh dan jiwa masing-masing, api lilin kebangkitan mulai dinyalakan di
Jogja pada akhir Juli lalu. Tepatnya pada 27 Juli 2021, Gerakan Jogja Bangkit
lahir untuk membantu sesama masyarakat Yogyakarta yang terdampak pandemi
Covid-19, termasuk PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Seperti yang kita tahu,
kebijakan PPKM yang memang berniat mengurangi penyebaran wabah corona justru
memicu lara baru karena orang-orang kehilangan pekerjaan. Belum lagi kalau
harus menjalani isoman (isolasi mandiri) karena positif Covid-19, penghasilan
yang menguap jelas jadi nafas derita yang baru.
Tak ingin rantai derita itu
terus menjalar dan benar-benar menghancurkan Yogyakarta dari dalam, Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DI Yogyakarta pun mengambil perannya.
Para pekerja informal adalah sasaran
utama dari Gerakan Jogja Bangkit seperti penarik becak, para punggawa ojek online hingga pedagang-pedagang
pinggiran. Tak ingin salah sasaran, IMM mendata dulu seluruh calon penerima
bantuan sebelum akhirnya memperoleh paket sembako.
Dari mana dana bantuan ini
diperoleh dari IMM? Dari tangan-tangan pemberi para dermawan yang merasakan
pilunya badai Covid-19.
Tentu apa yang dilakukan oleh
IMM ini seolah membuktikan bahwa Muhammadiyah tak pernah mengkhianati sejarah.
Terlahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 18 November 1912, Muhammadiyah
seolah terus memberikan ‘terang’ bagi seluruh masyarakat Yogyakarta.
© DOK. PRIBADI / JOGLO JATENG |
Apa yang dilakukan IMM ini
mungkin hanyalah satu dari ajakan agar warga Jogja kembali bangkit dan berani
berharap.
Gusti
Paring Dalan Kanggo Sopo Wae Gelem Dalan adalah pepatah yang sangat
tepat untuk Gerakan Jogja Bangkit ini.
Karena dalam kondisi seberat
apapun, Tuhan akan selalu ada dan memberikan jalan kepada manusia yang mau
mengikuti jalan kebenaran. Semua tergantung niat dan kemauan, dua hal yang saat
ini begitu membuncah di masyarakat Yogyakarta.
Ya, Jogja siap bangkit kembali.
Sehat, Sehat, Sehat! Rahayu Kang Pinanggih
Memulai
bulan Agustus, denyut perubahan mulai bisa dirasakan di Yogyakarta. Meksipun
jumlah pasien Covid-19 masih tinggi dan tabung-tabung oksigen masih dibutuhkan,
perlawanan terharap wabah corona siap dimulai.
Pemerintah
Yogyakarta pun bersatu padu mengajak seluruh warganya untuk berbondong-bondong
melakukan vaksinasi.
Hutan
Mangunan di Kabupaten Bantul yang sempat menjadi pusat wisatawan diubah menjadi
sentra vaksinasi. Tak hanya di Hutan Mangunan, berbagai titik vaksinasi pun
dibangkitkan di berbagai sudut DI Yogyakarta. Mulai dari lansia, kelompok usia
produktif hingga kalangan remaja silih berganti mendapat dosis vaksinasi,
sebagai syarat untuk bisa bersama-sama ‘memukul mundur’ Covid-19.
© krjogja.com |
Bahkan
pemerintah Kota Yogyakarta mengusung program Merdeka Vaksin yang bakal digelar
hingga 17 Agustus 2021, demi memenuhi status herd immunity. Tak heran kalau kemampuan vaksinasi ibukota DI
Yogyakarta ini ditingkatkan hingga 300%.
Layaknya
kalimat termahsyur dari RA.Kartini bahwa Habis Gelap Terbitlah Terang, hal
itulah yang kini tengah dinantikan masyarakat Yogyakarta.
Demi
menyambut cahaya kebangkitan itu, asa-asa baru pun mulai diterbangkan. Termasuk
kembali membuka sentra wisata terpopuler di Yogyakarta yang sempat mati suri,
Malioboro. Di mana hanya mereka yang sudah menjalani vaksin Covid-19 dan
mengenakan masker, akan bisa menikmati sore santai di Maliboro entah menikmati
senja sore di Tugu Jogja, atau syahdunya suara musisi jalanan di sana.
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama...suasana Jogja...
Sumber:
- https://www.voaindonesia.com/a/krisis-oksigen-rsup-dr-sardjito-(1)-kisah-kisah-pilu-di-akhir-pekan/5973924.html
- https://corona.jogjaprov.go.id/data-statistik
- https://tekno.tempo.co/read/1491276/kemampuan-vaksinasi-yogyakarta-meningkat-300-persen-stok-vaksin
- https://www.krjogja.com/berita-lokal/diy/yogyakarta/penting-ini-pesan-sultan-dalam-pepatah-jawa-untuk-hadapi-corona/
- https://kumparan.com/kumparannews/gerakan-jogja-bangkit-bantu-warga-terdampak-ppkm-saat-pandemi-1wEWweZgA58
- https://joglojateng.com/2021/08/01/bangkitkan-semangat-lewat-gerakan-jogjabangkit/?amp
- https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/08/11/pemkot-yogyakarta-tetapkan-malioboro-sebagai-kawasan-wajib-vaksin/
0 Komentar