Langkah Sang Pengubah Peradaban di Ujung Pulau Jawa

"Kalau dipikir-pikir memang lucu dan aneh. Saya yang cuma lulusan SMP kok bisa sejauh ini dengan Lenggoksono. Bertemu banyak perwakilan instansi pemerintah atau perusahaan swasta sampai memberikan penjelasan di gedung-gedung kampus,” canda Agung Tri Ono, penggerak Kampung Berseri Astra (KBA) Lenggoksono.

Agung Tri Ono (berbaju hitam) di KBA Lenggoksono
Agung Tri Ono (berbaju hitam) dengan warga KBA Lenggoksono | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

Dalam sekali pandang, aku bisa memahami kalau Agung memang pemuda asli pesisir. Kulit tubuhnya berwarna kecoklatan bahkan ada yang cukup legam akibat terbakar matahari, sebagai pertanda kebanggaannnya terlahir menjadi masyarakat tepi pantai.

Jika aku yang warga Kota Batu ini cukup tak kuasa tersiram matahari yang begitu terik, Agung malah tampak tersenyum tenang. Dia berjalan di sampingku sambil sesekali membenahi topi putih yang dia kenakan, lengkap dengan menyapa balik masyarakat Lenggoksono yang menyambutku dengan sangat ramah siang itu.

Hampir setiap harinya, Agung memang disibukkan dengan berbagai kegiatan di dusun tempatnya tinggal ini. Menariknya, seluruh kegiatan itu merupakan sebuah kebiasaan yang sudah diupayakan oleh Agung sejak tahun 2021. Ya, lahir dan hidup di salah satu dusun terujung di Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang ini, Agung menolak menjalani nasibnya sebagai pencari dan penjual ikan semata.

Pemikirannya bersama rekannya Fian, seorang alumni Universitas Brawijaya (UB) Malang, membuat Lenggoksono memutar roda peradaban ke arah yang berbeda. Dusun yang berpagar Samudera Hindia itu, kini meretas mimpi baru dari salah satu ‘darah dagingnya’, Agung Tri Ono.

Desa Pejuang di Alam Menawan

Untuk menuju Lenggoksono, bukan sesuatu yang ringan. Dari pusat Kota Malang atau Kota Batu, aku harus menempuh perjalanan darat sekitar 2-3 jam lamanya. Rute yang kutempuh memang mayoritas jalan raya beraspal dan menembus perbukitan di wilayah Tirtoyudo.

Namun saat kalian semakin memasuki Desa Sumbertangkil, jalanan berlubang hingga rusak parah benar-benar menguji kesabaran. Hingga saat sudah makin dekat dengan Teluk Bowele (Bolu-Bolu, Wediawu, Lenggoksono), jalur naik-turun yang rusak akan makin curam menembus kebun-kebun cengkeh, meskipun hamparan laut Teluk Bowele tampak menyambut dengan sangat indah.

“Sebetulnya yang mendorong kami untuk melakukan perubahan pada Lenggoksono adalah keinginan agar dusun kami jadi wilayah mandiri. Kami sadar kalau sarana dan prasarana menuju dusun cukup memprihatinkan. Karena itu saya terpanggil dan mengajak warga bergerak bersama supaya kita bisa berdaya,” jelas Agung, membuka perbincangan kami.

Aku terdiam mencoba memahami keluhannya.

Sebagai anak kelahiran Malang, aku cukup sadar kalau masih banyak wilayah-wilayah wisata alam di Kabupaten Malang yang tak bisa memaksimalkan potensinya karena akses jalan yang buruk.

Teluk Bowele dari ketinggian
Teluk Bowele dari ketinggian | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

Bahkan pada Juni 2021 silam, hujan yang sangat deras mengguyur Malang Raya sampai memutuskan jembatan menuju Pantai Lenggoksono. Sekda Kabupaten Malang saat itu, Wahyu Hidayat (sekarang Walikota Malang), pernah berjanji pada Malang Times jika pembenahan akses jalan Lenggoksono menjadi salah satu program prioritas. Hanya saja rencana itu sempat ditunda karena rasionalisasi dan refocusing, sehingga harus menunggu penetapan PAK (Perubahan Anggaran Keuangan).

Bukan tanpa alasan kalau Lenggoksono memang cukup memikat pejabat daerah terutama Kabupaten Malang. Menurut mantan Bupati Malang Rendra Kresna, sudah ada banyak desa wisata dengan berbagai keunggulan yang dikembangkan dengan gencar sejak 2008 di wilayahnya. Di mana Lenggoksono resmi dipilih bersama Desa Pujon Kidul pada 2014 silam.

“Kita ini orang-orang desa. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau memperjuangkan Lenggoksono? Apa iya selalu menunggu orang-orang dari Dampit atau Malang? Kita sendiri yang harus berjuang dan ikut bergerak menciptakan kampung jadi tempat yang aman, indah, dan damai,” celetuk Agung kepadaku saat kami beristirahat di salah satu rumah yang kebun petaknya dipenuhi tanaman obat.

Aku tersenyum kecil.

Berjuang sepertinya memang sudah mendarah di jiwa-jiwa warga Lenggoksono.

Mereka mungkin tak sadar kalau semangat itu sejatinya sudah mengalir dari generasi ke generasi karena wilayah ini menjadi tanah yang dipilih para pejuang.

Ya, di saat Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 silam di Jakarta, kabar menggetarkan itu butuh waktu untuk menjalar di seantero negeri. Bahkan di Malang sendiri, pesan itu pecah dua hari sejak 17 Agustus lewat udara, usai Syahrudin menyelundupkan bunyi teks Proklamasi di kantor berita radio Soerabaja Hosokyoku.

Masyarakat-masyarakat Tapal Kuda seperti di Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan Kabupaten Lumajang justru masih melindungi diri dengan bambu runcing dan senjara laras panjang, serta menembus belantara demi menjauh dari serdadu Jepang yang masih bergerilya. Hingga akhirnya langkah perjuangan itu membawa mereka ke lahan-lahan kosong di perbukitan Tirtoyudo.

Para pejuang itu akhirnya memili bersemayam sampai akhir hidup dan melahirkan keturunannya di potongan Nirwana milik Kabupaten Malang, Lenggoksono.

Gerak Kecil yang Kini Meriak Makin Berdampak

Seperti yang dibilang banyak orang, langkah awal dalam sebuah perubahan sangatlah sulit.

Hal serupa dialami juga oleh Agung, apalagi kala itu dia masih cukup muda dan cuma seorang pemuda kampung biasa. Namun Agung percaya jika dusunnya berubah jadi lebih baik, akan memicu kemandirian pada warga dan menjadikan potensi Lenggoksono bisa dikelola secara maksimal. Sehingga dampaknya, segala sarana dan prasana bakal makin mudah diakses.

Agung Tri Ono di depan plakat KBA Lenggoksono
Agung Tri Ono di depan plakat KBA Lenggoksono | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

“Waktu itu bahkan ada yang meremehkan atas ajakan perubahan yang saya kenalkan. Apalagi di tempat saya tinggal, RW 01, saat itu gedung pertemuan warga tidak ada sehingga makin mempersulit pengenalan rancangan perubahan. Tapi saya tidak mau mundur dan memilih fokus pada program pertama, lingkungan. Saya percaya kalau lingkungan berubah jadi lebih baik, maka berdampak besar ke wisata dan lebih berkelanjutan,” lanjut Agung optimis.

Gerakan kecil soal lingkungan itu akhirnya dimulai dari kebiasaan mengolah kembali sampah-sampah plastik di rumah tangga. Menurut Hartining dan Yati, dua perwakilan Ibu Dasawisma di RT 02/RW 02, Dusun Lenggoksono yang aku temui, setiap Sabtu mereka menggelar kegiatan bersih lingkungan lewat pengumpulan sampah-sampah plastik untuk diolah menjadi ecobrick.

Di mana lembaran sampah-sampah plastik yang sudah dibersihkan itu akan dikumpulkan lalu kemudian dipotong kecil-kecil, sebelum kemudian dijejalkan ke dalam botol-botol plastik bekas sampai penuh. Dengan bobot 2,5 – 4 ons, ecobrick-ecobrick itu dimanfaatkan untuk menjadi tiang gerbang pagar rumah pengganti kayu sampai tempat duduk karena cukup kuat. Sedangkan jika tidak jadi ecobrick, sampah plastik itu juga disulap perempuan Lenggoksono menjadi tas dan dompet yang bernilai jual.

Daur ulang sampah plastik jadi ecobrick di Lenggoksono
Daur ulang sampah plastik jadi ecobrick di Lenggoksono | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

Lalu untuk limbah rumah tangga lain yang bisa terurai, diolah menjadi POC (Pupuk Organik Cair). Di mana cairan-cairan limbah dengan aroma luar biasa tidak sedap itu bakal disimpan di dalam wadah-wadah tertutup rapat, untuk dibiarkan berfermentasi selama 15 hari sebelum kemudian endapannya akhirnya endapan cairan itu menjadi POC untuk dibawa ke kebun-kebun mereka.

Ya, warga Lenggoksono sudah lama tak membeli pupuk kimia yang harus dibeli dulu ke pusat Kabupaten Malang.

Setelah kebiasaan mengelola sampah itu dipahami, gerakan penghijauan itu dimulai dengan ajakan penanaman TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Tak heran saat aku berkunjung ke Lenggoksono, aku bisa melihat kebun-kebun kecil ruma sekitar enam RT dalam lingkup RW 01 sudah dipenuhi tanaman jahe, temulawak, beluntas, kencur, temu ireng, sirih, sambiloto, lidah buaya, sampai binahong.

Sedangkan untuk cengkeh yang lahannya mudah ditemukan di area perbukitan Tirtoyudo, dikelola beberapa warga dusun untuk menjadi minyak atsiri bernilai ekonomis tinggi lewat penyulingan.

“Lenggoksono sudah siap menjadi kampung peduli iklim. Kami sudah terbiasa memilah sampah plastik sampai daur ulang limbah rumah tangga menjadi POC. Semua upaya ini memberikan dampak bagi warga karena saya ini ya cuma ‘pelecut’ dan penjaga semangat saja,” tambah Agung sambil menyodorkan segelas jamu kunyit asam segar yang dibuat warga dari tanaman di kebun mereka.

Daur ulang limbah dapur jadi POC di Lenggoksono
Daur ulang limbah dapur jadi POC di Lenggoksono | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

Mau tak mau aku jadi teringat bahwa metode pemberdayaan masyarakat lewat penghijauan lingkungan ini sejalan dengan konsep CBT (Community Based Tourism) yang didengungkan pemerinta Indonesia era Presiden SBY, melalui PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri Pariwisata.

Di mana CBT diyakini oleh Goodwin dan Santil (2009) jadi konsep terbaik dalam pengembangan destinasi wisata lewat pemberdayaan masyarakat lokal. Lantaran mereka ikut terlibat dalam seluruh proses perencanaan, penyampaian pendapat, dan pengelolaan. Bahkan Suansri (2003) menguatkan kalau CBT memang pengelolaan pariwisata dengan segala aspek berkelanjutan linkungan, sosial, dan budaya.

“Lenggoksono juga bekerjasama dengan dinas terkait untuk mengelola ikan yang melimpah di Bowele. Pada 2023 kami sudah mencoba mengolah ikan jadi abon ikan dan mengenalkan kopi ceng yang bercitarasa cengkeh sebagai ciri khas Bowele. Saya hanya ingin warga Lenggoksono ini makin sejahtera. Saya akan terus menjaga konsistensi semangat warga lewat program yang sudah direncanakan, semoga Pemerintah Desa Purwodadi juga bersedia aktif membantu kami,” papar Agung bersemangat.

Terbukti pada 2023 silam, Bowele akhirnya terpilih jadi desa wisata unggulan Kabupaten Malang yang sangat berdaya. Bersinergi dengan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Bowele, Agung dan masyarakat tempatnya tinggal berhasil membuat Bowele sejajar dengan Desa Wisaya Ngadas dan Gubug Klakah di Poncokusumo, Pujon Kidul, sampai Sanankerto di Turen yang populer lewat Boonpring.

Lenggoksono bahkan masuk sebagai 70 peserta terbaik ADWI (Anugerah Desa Wisata Indonesia) dan memboyong Juara Harapan I. Menjadikan ini sebagai bukti jika mimpi Agung untuk tanah kelahirannya jadi makin baik dan berdaya, semakin terwujud.

Asa-Asa Baru dari Lenggoksono Bersama ASTRA

Sudut dusun Lenggoksono yang rapi
Sudut dusun Lenggoksono yang rapi | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

Jalan Agung untuk membuat Lenggoksono sebagai wilayah berdaya memang cukup terjal.

Dia masih ingat kalau dulu untuk menelepon, warga desa harus pergi ke pusat Kabupaten Malang selama dua jam perjalanan dulu karena sinyal telepon baru masuk di tahun 2013 silam.

Belum lagi dengan rendahnya kesadaran atas lingkungan, sampai membuat ekosistem laut Bowele rusak dan menghancurkan terumbu karang karena warga tak sadar melakukan illegal fishing memakai bom dan potasium. Mengikuti jejak mendiang Ayahnya, Heru Budiono, Agung menyadari kalau legacy yang ditinggalkan sang Ayah cukup berat dalam hal merawat lingkungan perairan Bowele sejak 2010 lalu.

“Lingkungan memang sudah jadi fokus saya sejak dulu, terutama terumbu karang. Saat itu banyak orang memandang sebelah mata, bahkan dianggap gila karena kok mau-maunya peduli sama apa yang ada di dalam laut, kembali menanam terumbu karang. Tapi lambat laun mereka sadar kalau semua erakan ini berdampak ke perekonomian masyarakat,” lanjut Agung saat dia menemaniku berjalan di tepi pantai Lengoksono.

Seolah tak membiarkannya sendiri, aksi Agung ini diketahui Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang serta mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan UB. Hal ini membuat Agung berserta kelompok konservasinya memperoleh dana hibah dari pemerintah, untuk membuat terumbu karang buatan dari semen dan pasir. Lalu barulah di 2014, adanya mahasiswa yang magang di Lenggoksono, membuat sosok Agung makin menonjol.

“Mahasiswa yang magang itu ternyata mengenalkan Lenggoksono di Facebook dan itu jadi promosi tak sengaja. Dari situ mulai ada orang yang datang. Awalnya Cuma 100, jadi 200 dan sampai tahun 2017 sudah ribuan wisawatawan lokal dan bule, gila sekali! Itu juga yang membuat saya terpilih jadi Local Champion dan berkenalan dengan ASTRA,” kenang Agung.

Agung Tri Ono (berbaju hitam) dengan penggerak KBA Lenggoksono
Agung Tri Ono (berbaju hitam) dengan penggerak KBA Lenggoksono | foto: dokumentasi pribadi Arai Amelya

Uniknya karena keterbatasan informasi, Agung kala itu berpikir jika ASTRA hanya sekadar perusahaan otomotif dan onderdil kendaraan bermotor. Barulah dia kemudian mengenal program SATU Indonesia Awards (SIA) dengan berbagai kegiatan pendampingan masyarakat, memaksimalkan potensi anak-anak muda Indonesia, serta tentunya pemberdayaan.

“Tahun 2017 itu saya memang gagal dapat SIA dan hanya jadi finalis, tapi kemudian tahun 2020 saya kembali dihubungi oleh ASTRA untuk menjadi bagian dari SIA tingkat provinsi. Saya terharu karena ASTRA masih ingat dan mereka memang tidak pernah meninggalkan finalis yang pernah berjuang. Mereka mengenalkan program Kampung Berseri ASTRA (KBA), dan saya mengajukan Lenggoksono,” papar Agung panjang lebar sambil menatap laut di depan kami.

Hingga akhirnya lewat proses seleksi yang ketat dan bersaing dengan ribuan peserta secara nasional, Lenggoksono terpilih jadi satu dari 17 finalis terbaik KBA. Tepat pada 27 Juli 2021, KBA Lenggoksono pun lahir dan menggerakkan empat pilar utama yakni lingkungan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Kini empat tahun sudah KBA Lenggoksono berjalan.

Dusun terpencil itu semakin mempercantik diri sebagai salah satu penopang wisata Teluk Bowele. Tak hanya menjanjikan keindahan laut, Lenggoksono adalah destinasi wisata yang mengusung nilai storynomic. Sekadar informasi, storynomic tourism adalah pendekatan pariwisata yang fokus pada narasi, konten kreatif dan living culture dengan kekuatan budaya sebagai ‘napas’ utamanya.

Saat berkunjung ke Lenggoksono, kalian bisa merasakan sendiri living culture di dusun tepi laut ini dengan berbagai tradisi yang tetap lestari. Misalnya sekelompok anak-anak Lenggoksono baik laki-laki atau perempuan yang berlatih menari setiap Sabtu malam, atau rombongan Ibu-Ibu melakukan tabuh lesung, tradisi klothekan yang sudah diwarisi dari generasi ke generasi dan menjadi ikon wisata Desa Purwodadi.

“Saya ingat kalau pihak ASTRA pernah bertanya soal apa yang akan kami lakukan jika mereka tidak membantu lagi. Waktu itu masyarakat menjawab tanpa saya minta, jika mereka akan tetap bakal menjalankan dan memperjuangkan berbagai program KBA supaya dusun kami jadi semakin berdaya. Saya bangga dan ini adalah bukti kalau leluhur kami memang para pejuang,” tutup Agung senang.

Ya, Agung memang patut bangga.

Langkah kecilnya demi tempat lahir yang sangat dia cintai itu berhasil menyatukan gerak seluruh warganya, hingga berhasil memberikan dampak terus-menerus.

Agung Tri Ono jelas sang pengubah peradaban di ujung pulau Jawa.


#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia #APA2025-PLM

***

Referensi
  • Wawancara langsung dan by phone dengan Agung Tri Ono di Dusun Lenggoksono
  • Instagram KBA Lenggoksono
  • Ahmad Fatoni, VIVA Jatim. 2024. Teruskan Sang Bapak, Begini Cerita Agung Triono Hapus Perusakan Ekosistem Laut Lenggoksono
  • Website Dinas Kominfo Jawa Timur. 2014. Banyak Desa Unggulan, Kabupaten Malang Gencar Kembangkan Desa Wisata

Posting Komentar

0 Komentar